Catatan Dr. Suriyanto PD, SH, MH, M.Kn
Ada beredar tulisan dari seseorang yang menyatakan soal dinasti biasa-biasa saja karena di era reformasi ini siapa saja dapat jadi Pemimpin baik dari rakyat biasa hingga yang memiliki kekayaan tentu nya hal itu biasa saja. Tetapi jika dikaitkan dengan anak presiden Jokowi bahwa katanya Gibran dan Boby jadi walikota itu adalah prestasinya juga yang baru-baru ini Kaesang jadi ketum salah satu partai politik itu tidak dapat di hadap- hadapkan dengan rakyat biasa atau rakyat yang lainnya.
Indonesia menganut sistem demokrasi Pancasila yang sesuai dengan kepribadian bangsa. Demokrasi Pancasila mengandung nilai-nilai dan tujuan yang tertuang dalam sila-sila.
Prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila kemudian menjadi dasar bagi cara hidup bernegara masyarakat Indonesia. Sistem ini dikenal dengan sebutan demokrasi Pancasila, yang merupakan pola hidup masyarakat Indonesia yang didasarkan pada Pancasila. Di mana masyarakat melakukan berbagai aktivitas dan berperilaku sesuai dengan yang diajarkan dalam asas Pancasila.
Setiap sila dalam Pancasila memiliki posisi yang sama dan merupakan satu kesatuan yang membentuk demokrasi. Pancasila memainkan peran penting dalam bidang politik, sosial dan ekonomi serta dalam menyelesaikan masalah nasional melalui proses musyawarah untuk mencapai kesepakatan.
Indonesia menganut sistem negara Demokrasi Pancasila yang didalamnya terkandung tentang Ketuhanan dalam kehidupan bangsanya, keberadaan, persatuan, musyawarah mufakat dan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya. Beda dengan Demokrasi liberal yang dianut di Amerika.
Jika di Amerika terjadi kepemimpinan dinasti seperti keluarga Kennedy tidak dapat di bandingkan dengan Indonesia yang mengalami beberapa fase, dari era Orde Lama, Order Baru dan Reformasi. Yang perlu kita pahami bersama saat ini kita hidup di era reformasi yang harus disesuaikan dengan cita-cita Reformasi.
Karena jika Gibran bukan anak presiden, Boby bukan mantu presiden hanya rakyat biasa atau rakyat yang punya uang belum tentu dapat jadi walikota jika kita sama-sama bicara kebenaran, bahkan jika Kaesang rakyat biasa atau rakyat punya uang belum tentu dalam sekejab waktu jadi ketum partai. Kita semua jika bicara kebenaran tentu akan setuju dengan tulisan ini. Tetapi jika bicara pembenaran pasti tidak setuju dengan tulisan ini.
Memang, tidak ada undang-undang bernegara kita yang mengatur soal pelarangan politik dinasti. Namun, apabila kita melihatnya dari sudut pandang moral politik maka praktik politik dinasti sungguh mencederai demokrasi kita. Segelintir kelompok yang memuluskan praktik politik dinasti menunjukkan peradaban politik bangsa ini masih rendah. Politik dijadikan sebagai instrumen untuk mencapai kepentingan sempit bukan kepentingan umum.
Moral politik di sini juga soal penghormatan terhadap nilai-nilai demokrasi yakni tugas partai politik untuk menghadirkan pemimpin berkualitas dan pelaksanaan demokrasi internal. Bahwasanya, partai politik mesti menjaring orang yang terbaik untuk mengemban tugas sebagai pemimpin. Bukan orang yang kapabilitasnya diragukan dan konflik kepentingan dalam dirinya tinggi sehingga ketika berkuasa ia kurang cakap dan kurang fokus bekerja untuk rakyat.
Tanpa kita sadari di Indonesia sedang terjadi fenomena Dinasti Politik dimana terdapat praktik penerusan kekuasaan pada orang-orang terdekat. Hal ini terjadi karena concern yang sangat tinggi antara anggota keluarga terhadap perpolitikan dan biasanya orientasi Dinasti Politik ini adalah kekuasaan. Mereka yang melakukan hal tersebut mengharapkan agar kekuasaan tetap berada di pihaknya.
Indonesia maju dengan menganut Demokrasi Pancasila harus bicara kebenaran disemua keadaan, jika masih bicara pembenaran maka cita-cita Reformasi hanya isapan jempol, sama saja dengan orde baru. Kesadaran semua pihak baik di bidang politik, hukum, ekonomi, pemerintahan dan Negara harus dengan kebenaran bukan pembenaran.
*) Dr. Suriyanto Pd, Pakar Hukum dan Akademisi